Diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah tidak bermajelis dan tidak berteman dengan ahlul bid’ah (orang
yang gemar melakukan amalan yang tidak diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Jiwa setiap insan telah diciptakan dalam keadaan lemah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 28)
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala dengan
rahmat-Nya membimbing hamba-hamba-Nya kepada perkara yang bisa membantu
menjaga agama mereka, berupa berteman dengan orang-orang baik dan
shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan dunia ini.” (Al-Kahfi: 28)
Ibnu Katsir berkata: “Yakni duduklah bersama hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang berdzikir, membaca kalimat tauhid, bertahmid, bertasbih, dan bertakbir serta meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala pagi dan petang. Baik mereka orang fakir, kaya, ataupun lemah.”
Demikian juga, Allah subhanahu wa ta’ala melarang dan memperingatkan kita agar tidak berteman atau duduk bersama orang-orang yang jelek agamanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga
mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan
kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
(Al-An’am: 68)
Orang yang paling besar mudharatnya jika
dijadikan teman adalah ahlul bid’ah (lihat keterangan tentang ahlul
bid’ah pada catatan kaki rubrik Manhaji, red.). Mudharat yang terjadi
akibat berteman, bergaul, dan bermajelis dengan mereka lebih besar
daripada mudharat yang terjadi karena bergaul dengan pelaku maksiat yang
masih Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, telah masyhur dalam kitab-kitab
ulama Ahlus Sunnah tentang peringatan agar tidak berteman atau
bermajelis dengan mereka. Diantara dalil hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga
mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan
kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”
(Al-An’am: 68)
Peringatan salaf agar tidak bergaul dengan ahlul bid’ah
Fudhail bin Iyadh berkata:
“Barangsiapa yang duduk bersama ahlul bid’ah, maka hati-hatilah
darinya. Barangsiapa yang duduk bersama ahlul bid’ah dia tidak akan
diberi hikmah. Aku menginginkan ada benteng dari besi yang memisahkan
aku dengan ahlul bid’ah…”
Beliau berkata, “Aku bertemu orang-orang
terbaik, dan mereka semua adalah Ahlus Sunnah, semuanya melarang bergaul
dengan ahlul bid’ah.”
Al-Imam Ahmad berkata:
“Tidaklah sepantasnya seseorang duduk dengan ahlul bid’ah atau bergaul
dengannya, tidak pula punya hubungan dekat dengannya.” Beliau juga
berkata dalam suratnya kepada Musaddad: “Janganlah kamu bermusyawarah
dengan ahlul bid’ah dalam perkara agamamu dan janganlah berteman safar
dengannya.”
Pembaca yag budiman, demikianlah sikap
salaf terhadap ahlul bid’ah. Bukan malah menjadikannya sebagai pimpinan
ataupun pembimbing, terlebih dalam masalah ibadah.
Sikap terhadap orang yang bergaul dengan ahlul bid’ah (hizbiyin)
Ibnu Taimiyah berkata: “Jika pergaulan seseorang adalah dengan orang-orang jelek, maka peringatkanlah orang darinya.”
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata: Ketika Sufyan datang ke Bashrah,
beliau melihat Rabi’ bin Shubaih serta kedudukannya di sisi manusia.
Beliau bertanya, “Bagaimana pemahamannya?” Mereka menjawab,
“Pemahamannya adalah Ahlus Sunnah.” Beliau berkata, “Siapa
teman-temannya?” Mereka menjawab, “Orang-orang Qadariyyah (pengingkar
takdir).” Beliau berkata, “Berarti dia adalah pengingkar taqdir juga.”
Ibnu Baththah berkata: “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati
Sufyan Ats-Tsauri t. Beliau telah berucap dengan hikmah dan telah
benar. Beliau berbicara dengan hikmah dan benar, juga dengan ilmu serta
sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah yang dituntut oleh hikmah, dilihat
oleh mata, dan dipahami orang yang punya bashirah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di
luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.” (Ali
‘Imran: 118)
Abu Dawud As-Sijistani pernah berkata kepada Al-Imam Ahmad,
“Aku melihat ada seorang Ahlus Sunnah sedang bersama dengan ahlul
bid’ah. Apakah aku tinggalkan bicara dengannya?” Al-Imam Ahmad menjawab,
“Jangan. Engkau beritahu dia bahwa orang yang kamu lihat dia bersamanya
adalah ahlul bid’ah. Jika dia meninggalkan perbuatannya berbicara
dengan ahlul bid’ah tersebut, maka sambunglah hubungan dengannya. Namun
jika tetap seperti itu, tinggalkanlah. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Seseorang
itu sama dengan temannya’.” Wahai hamba Allah subhanahu wa ta’ala, janganlah engkau korbankan agamamu untuk dunia dengan berbasa-basi bersama ahlul bid’ah.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Jika dia beranggapan baik kepada ahlul bid’ah –mengaku bahwa dia belum
tahu keadaan mereka– maka dia diberitahu tentang keadaan mereka. Jika
setelah dijelaskan, dia tidak berpisah dengan mereka dan tidak
menampakkan pengingkaran terhadap mereka, maka dia digabungkan dan
disikapi seperti mereka.”
Bahkan para ulama memerintahkan agar
anak-anak pun dijauhkan sejak dini dari ahlul bid’ah. Ibnul Jauzi
berkata: “Takutlah kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari
berteman dengan mereka. Wajib untuk mencegah anak-anak dari pergaulan
bersama mereka, agar tidak ada pada hati mereka satu kebid’ahan pun.
Sibukkanlah mereka dengan hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam agar lembut hati mereka.”
Al-Imam Al-Barbahari berkata:
“Jika nampak kepadamu dari seseorang satu kebid’ahan, hati-hatilah
darinya. Karena yang dia sembunyikan darimu lebih banyak dari yang
ditampakkannya.” (Dinukil dari Lammud Durril Mantsur)
Demikian salafus shalih sangat menjaga diri mereka, anak-anak serta sahabat-sahabat mereka dari kebid’ahan dan ahlul bid’ah.
Muhammad bin Sirin jika mendengar satu kata dari ahlul bid’ah, dia meletakkan dua telunjuknya di dua telinganya dan berkata.
“Tidak halal bagiku berbicara dengannya sampai dia berdiri dari majelisnya.”
Seorang ahlul ahwa (ahlul bid’ah) berkata
kepada kepada Ayub As-Sakhtiyani, “Wahai Abu Bakr (yakni Ayub), aku
ingin bertanya kepadamu satu kata.” Ayub berkata seraya berisyarat
dengan telunjuknya, “Tidak, walaupun setengah kata.”
Salaf menerima berita temannya
Datang Dawud Al-Ashbahani ke Baghdad. Dia
berbicara dengan lemah lembut kepada Shalih bin Ahmad bin Hanbal untuk
memintakan izin agar bisa bertemu dengan ayahnya (yakni Al-Imam Ahmad
bin Hanbal). Shalih pun datang ke ayahnya dan berkata, “Ada seseorang
minta kepadaku agar bisa bertemu denganmu.” Beliau bertanya, “Siapa
namanya?” Shalih menjawab, “Dawud.” Beliau bertanya lagi, “Darimana
dia?” Shalih khawatir membeberkan jati dirinya kepada Al-Imam Ahmad,
namun beliau terus bertanya hingga paham siapa yang ingin berjumpa
dengannya. Maka Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya An-Naisaburi
telah menulis surat kepadaku tentang orang ini bahwa orang ini
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka janganlah dia
mendekatiku.” Shalih berkata, “Wahai ayah, dia menafikan dan mengingkari
tuduhan ini.” Al-Imam Ahmad berkata, “Muhammad bin Yahya lebih jujur
darinya. Jangan izinkan dia masuk kepadaku.”
Efek negatif bermajelis dengan ahlul bid’ah
Duduk bergaul dengan ahlul bid’ah banyak sisi negatifnya dalam masalah agama. Diantaranya:
1. Orang yang duduk dengan ahlul bid’ah
tersebut akan terkena syubhat dan tidak bisa membantahnya, akhirnya dia
terjerumus dalam kebid’ahan mereka. Sufyan Ats-Tsauri berkata,
“Seseorang yang duduk dengan ahlul bid’ah tidak akan selamat dari satu
diantara tiga perkara: menjadi fitnah bagi yang lainnya, masuk dalam
hatinya kebid’ahan hingga dia tergelincir dengannya, atau dimasukkan
oleh Allah subhanahu wa ta’alake dalam neraka …”
Ketika ada orang yang berkata kepada Ibnu
Sirin, “Sesungguhnya fulan (salah seorang ahlul bid’ah, red.) ingin
datang dan berbicara denganmu.” Beliau berkata, “Katakan kepadanya,
jangan datang kepadaku. Sesungguhnya hati anak Adam itu lemah. Aku
khawatir mendengar satu kalimat darinya kemudian hatiku tidak bisa
kembali seperti semula.”
2. Duduk dengan mereka menentang perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta menyimpang dari jalan sahabat.
Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
3. Duduk dengan mereka menyebabkan kecintaan kepada mereka
Ibnu Mas’ud berkata, “Seseorang hanya akan berteman dan berjalan dengan orang yang sejenis dengannya.”
4. Duduk dengan mereka bermudharat bagi ahli bid’ah itu sendiri
Karena diantara hikmah menjauhi mereka
adalah agar jera dan kemudian rujuk (keluar) dari kebid’ahannya. Adanya
orang yang dekat dengannya akan menjadi sebab jauhnya dia dari
bertaubat, karena merasa jalan yang ditempuhnya adalah kebenaran.
5. Duduk dengan mereka, menjadi sebab orang lain berburuk sangkanya kepadanya.
Ini hanyalah sebagian dari keburukan yang kita ketahui. Hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang
tahu betapa banyak mafsadah yang muncul akibat duduk dan berteman
dengan ahlul bid’ah. Mudah-mudahan ini cukup sebagai nasihat bagi orang
yang menginginkan keselamatan agamanya. (lihat Mauqif Ahlis Sunnah hal.
550-551)
Beberapa contoh kasus orang yang terjatuh dalam kesesatan karena berteman dengan ahlul bid’ah
Kesimpulannya, berteman dengan ahlul bid’ah adalah bencana yang besar
dan bahaya yang menyebar. Karena ahlul bid’ah lebih berbahaya dari orang
fasik. Banyak orang yang bergaul dengan ahlul bid’ah dan tidak selamat
dari kebid’ahan mereka.
Al-Imam Adz-Dzahabi berkata
–dalam biografi Rawandi–: Dia berteman dengan Rafidhah dan orang-orang
menyimpang lainnya. Jika dihukum, dia menjawab, “Aku hanya ingin tahu
ucapan-ucapan mereka.” Sampai akhirnya dia pun menjadi mulhid
(atheis/penyimpang) dan turun dari dien dan millah (agama) ini.”
Al-Imam Adz-Dzahabi juga berkata
–dalam biografi Ibnu Aqil Al-Hanbali– ketika menukil ucapannya, beliau
berkata, “Para ulama Hanbali ingin agar aku menjauhi sekelompok ulama,
padahal itu menyebabkan aku luput dari sebagian ilmu.”
Al-Imam Adz-Dzahabi mengomentari
ucapannya: “Para ulama melarangnya bergaul dengan Mu’tazilah namun dia
enggan menerimanya. Akhirnya dia terjatuh dalam jerat mereka dan menjadi
lancang dalam menakwil dalil-dalil. Kepada Allah subhanahu wa ta’ala sajalah kita memohon keselamatan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 21-25).
Wallahu a’lam bish-shawab.
————————————————–
Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=5149